Friday, June 10, 2011

Perjalanan Ini … (additional version)

Pertemuan (dan perjodohan) adik perempuanku dengan suaminya sekarang sebenarnya lebih pantas diceritakan oleh yang bersangkutan. Dan suami adikku memang telah menceritakannya di blognya di sini dan di sini. (Tulisan di situ perspektifnya masih sebagai calon suami ya)

Di tulisan adikku (untuk selanjutnya adik iparku aku sebut adik saja), yg berasal dari chatting denganku, cuma diekspos sisi apa yang terjadi pada saat pertemuan pertama dan hikmah yang ada bahwa sesuatu yang nyebelin belum tentu buruk untuk kita.

Namun sebenarnya ada versi lain jika dilihat dari sisi pandangku yang lebih luas dibandingkan apa yang dichattingkan dengan adikku itu. Karenanya, aku tergoda juga untuk membuat sedikit cerita mengenai episode pertemuan (dan kemudian perjodohan) mereka.



Cerita versiku itu dimulai dari kisah pernikahanku. Pada saat menjalani proses (menuju) pernikahanku, sering terlintas doa dalam hatiku. Doa tersembunyi itu adalah: “Ya Alloh, aku telah mempermudah seorang perempuan menemukan jodohnya. Oleh karena itu, permudahkanlah adikku memperoleh jodohnya.” Aku nggak menghitung berapa kali aku mengucapkannya. Ucapan batin itu terlintas berulang kali dalam hatiku.

(Aku menganggap pernikahanku sebagai amal kebajikan. Dalam doa tersebut aku bertawassul dengan amalku. Hal ini diperbolehkan oleh syariat berdasarkan kisah Rasulullah mengenai tiga orang yang terperangkap dalam gua dan berdoa agar Alloh membukakan batu yang menutup mulut gua)

Setelah sekian lama aku menikah, aku mulai agak melupakan permohonanku itu. Hidupku pun berjalan seperti biasa. Adik perempuanku sekolah SMA dan kemudian melanjutkan kuliah.

Pada saat bapak mertuaku wafat, aku bersama istriku pergi ke Ngawi. Dari Depok jam 6 pagi aku naik taksi, tujuan pertama adalah Gambir untuk naik Purwojaya jam 7 (waktu itu Purwojaya masih berangkat jam 7 dari Gambir). Pada hari kerja jalanan macet. Walaupun sudah lewat jalan tol, aku tetap gagal ngejar Purwojaya akhirnya di tol kuputuskan untuk ke Senen ngejar Kutojaya jam 8.15. Sebelum keluar tol aku menyadari ketololan yang baru saja aku buat. Mengapa aku tidak keluar tol di Jatinegara. Aku bisa ngejar Purwojaya kalau turun di Jatinegara. Inilah penyesalan pertamaku.

Naik Kutojaya aku sampai di Purwokerto sekitar jam setengah 4 (saat itu waktu tempuh kereta bisnis Jkt Pwt masih sekitar 8 jam). Di Stasiun Purwokerto aku langsung dijemput orang tua, adik laki-lakiku dan bu dhe pake mobil sewaan. Dari Stasiun langsung ke kampus UMP menjemput adik perempuanku.

Dari Purwokerto jam limaan. Sampai tambak sudah Magrib. Kami pun mampir di sebuah masjid antah berantah. Pas turun dari mobil itulah terjadi episode pertemuan adik perempuanku dengan seorang teman SMA-nya yang kelak menjadi suaminya yang waktu itu jadi tukang parkir di mesjid itu. Waktu dikenalin ke si cowok aku blas nggak ada pikiran apa-apa. Cuma ketemu muka beberapa detik terus lupa gitu, lah.

Meneruskan perjalanan kami mampir makan bakmi jawa di antah berantah sekitar jogja solo. Sampai di Ngawi sekitar jam 3 malam. Kami pun langsung tidur. Pagi-pagi, orang tuaku, adik-adikku dan bu dhe langsung pulang lagi ke Banyumas. Aku nggak nyangka bahwa mereka bakal secepat itu pulangnya. Setelah balik lagi ke Jakarta, aku diberitahu oleh ibuku bahwa karena mobilnya telat dibalikin. Terpaksa orang tuaku nombokin.

Banyak sebenarnya yang aku sesali dari perjalanan ini. Yang jelas aku nggak bisa maksimal mempercepat perjalanan dari Jakarta Ngawi agar istriku bisa segera bertemu saudara-saudaranya. Aku nggak bisa mengejar kereta pertama. Aku sampai purwokerto sudah sore sehingga seluruh rombongan telat berangkat ke Ngawi. Untuk mengurangi keterlambatan, aku seharusnya membuat keputusan untuk memecah rombongan menjadi dua. Aku langsung ke Ngawi naik kereta dan keluarga Banyumas langsung ke Ngawi naik mobil. Kalau keluarga Banyumas bisa sampai lebih cepat di Ngawi tentunya mobil nggak harus sampai nombok. Banyak yang aku sesali waktu itu.

Tapi, sebagaimana yang aku chattingkan dengan adik (ipar) ku dan tertulis di blognya, ternyata semua “skenario mbingungi” itu memiliki makna mendalam bagi adikku yang ketemu dengan seseorang di Masjid Tambak.
Dari pertemuan di Masjid Tambak itu lah adikku mendapatkan jodohnya.

Seandainya aku tidak membuat “kesalahan-kesalahan” yang “kusesali” itu, mungkin adikku mungkin tidak akan berbahagia bersama dia. Ternyata skenario yang seolah merupakan “kesalahan” itu adalah karunia Alloh untuk memenuhi permohonanku waktu menikahi istriku dulu.

Jika dilihat dari lebih luas lagi, seandainya aku dulu tidak menikahi istriku, aku tidak akan memiliki kepentingan untuk takziyah ke Ngawi, dan adikku tidak akan ketemu suaminya.

Walaupun ada pameo “jika memang jodoh, pasti akan ketemu bagaimana pun caranya” namun bagiku, Bayu, suami adik perempuanku, hadir dalam kehidupan keluarga kami, karena, qodarullah, aku menghadirkan Alfin sebagai istriku.

1 comment:

Post a Comment