Friday, December 10, 2010

Guruku dari masa ke masa

Dalam postingan kali ini saya akan menceritakan guru, ustadz, mentor, murabbi apapun namanya. Nama yang saya sebutkan saya batasi hanya guru informal saja. Jadi guru sekolah dan dosen yang banyak sekali itu tidak saya masukkan ke sini.

1. Bu Lili dan Pak Sana Suwardaya

Mereka berdua adalah guru ngaji pertamaku. Bu Lili (Istri pak Sono), mengajarkan ngaji turutan. Turutan itu semacam buku bimbingan baca Qur’an. Sebelum ada Iqro’, bimbingan baca Qur’an dilakukan dengan buku turutan ini. Waktu ngajinya sore hari. Seingatku kurang lebih sekitar jam setengah tigaan. Tempatnya di rumah Bu Lili tepat di pertigaan Karangturi.

Beberapa temanku seperti yang pernah disebutkan di postingan sebelumnya antara lain Sujadi, Ratmo, Reddyana dan lainnya juga ikut ngaji di rumah Bu Lili ini.

Setelah selesai turutan, kami berhak untuk melanjutkan ngaji Al Qur’an. Untuk anak laki-laki, ngaji Al Qur’an dibimbing oleh Pak Sono. Tempatnya sama. Waktunya ba’da magrib (setelah sholat berjamaah magrib).

Selama ngaji Al Qur’an dengan beliau ini aku tidak pernah bisa lancar sedikit pun. Selalu saja salah-salah, terputus-putus (grendat grandet istilahnya). Akibatnya aku sering kena kritik keras dari Pak Sono. Keadaan tersebut membuat aku kurang nyaman ngaji. Pokoknya merasa sebel banget sama yang namanya membaca Al Qur’an. Akibatnya aku sering bolos ngaji. Adzan magrib berangkat sih, ke rumah Pak Sono. Tapi di tengah jalan aku ngumpet di balik kotak meteran PDAM. Nongkrong di situ sampai aku lihat teman-teman ngajiku pada pulang. Dan akupun melangkah pulang ke rumahnya berlagak habis ngaji (lol).

Tapi walaupun tersendat-sendat, akhirnya berhasil juga aku khatam Al Qur’an. Asyik, syukuran…

2. Pak Bambang

Secara formal, pak Bambang ini adalah guru kelas 6 SD-ku di Banyumas. Tapi aku (dan seluruh anak kelas 6 di SD ku) memiliki pengalaman informal dengan guru “nyentrik” ini.

Dengan alasan persiapan Ebtanas, seluruh anak kelas 6 SD-ku dihimbau untuk mengikuti kelas tambahan di rumah beliau. Waktu lesnya setelah magrib sampai menjelang malam. Dengan membayar 30 ribu sebulan kami akan mendapat drill soal-soal mata pelajaran Ebtanas.

Dengan adanya les di rumah beliau ini hubungan antar siswa menjadi tambah gayeng. Yang akrab tambah akrab. Yang berkonflik, berkonfliklah. Aku juga jadi mengetahui banyak hal mengenai pergaulan teman-temanku. Ada yang badung, ada yang kriminal, ada yang kayak malaikat, ada yang terkena virus merah jambu, dijodoh-jodohkan. Termasuk aku, dijodoh-jodohkan juga oleh teman-teman (lol).

Sekitar jam delapan biasanya anak-anak pada pulang. Pulangnya juga gayeng sepanjang jalan. Kadang kalo lagi iseng kami lewat jalan yang ada rumah kosong dan angkernya. Melempar batu ke pagar seng rumah. Berisiknya bukan main. Kemudian menggenjot sepeda kencang-kencang sambil berteriak macam-macam mengenai mahluk gaib yang ada di situ. Kadang sampai ada yang mengaku mencium bau aneh-aneh. Itu kalo lagi bandel. Kalo lagi waras, ya, kami pulang dengan damai, mengawal para lady princesses yang sejalur dengan kami.

Kalau anak yang baik-baik biasanya pulang tepat waktu. Kadang ada juga anak yang “agak dewasa” yang sampai menginap di rumah Pak Bambang. Yah, macam-macam lah pengalaman mereka. Maklum, di antara kami pak Bambang memang terkenal sebagai cenayang.

Tidak hanya malam hari rumah pak Bambang ramai oleh anak-anak. Sore hari setelah pulang sekolah pun kami sering nongkrong di rumahnya. Kegiatannya mulai dari main ping pong, balapan main sepeda-sepedaan menyelusup ke gang-gang sekitar situ, ngobrol sama waria-waria yang memang banyak main juga ke rumah pak Bambang, sampai merawat ayam-ayam Bangkok milik pak Bambang.

Kalau main siang-siang aku jarang main ping pong atau ngobrol sama waria. Paling-paling aku main sepeda dan merawat ayam Bangkok saja. Pernah aku main sepeda pakai sepeda Danni Ramdhani sampi nabrak tembok dan setangnya goyah. Selain itu, untuk memberi makan ayam Bangkok kami sering mencari (baca: mencuri) daun papaya di pekarangan rumah orang-orang (lol).

Memang, banyak kontroversi mengenai pak Bambang ini. Tapi, tidak usahlah diceritakan. Biarlah itu menjadi urusannya sendiri. Untuk kami, yang penting having fun…

3. Abdul Rahim Hasan

Pertama masuk SMU 1 Purwokerto aku hanyalah seorang junior yang culun. Dalam kondisi seperti itu (jreng.. jreng..) muncullah Abdul Rahim Hasan. Keberadaannya sebagai ketua rohis membuat dia seperti seorang kakak bagiku. Mungkin kayak Albert bagi Candy, Archie dan Stea.

Kebetulan kos-kosannya di Karang Melati 8 di sebelah kos-kosanku. Waktu ada pengajian di kamar kosnya aku pun ikut. Kemudian aku pun terlibat di organisasinya, IPNU Komisariat Hasyim Asy’ari SMU 1 SMU 2 Purwokerto (ceritanya mas Hasan ini adalah salah satu founding father IPNU komisariat).

Kemudian dia pindah ke jalan ST. Kadang aku pun main ke kosannya. Di kos-kosannyalah aku berkenalan pertama kali dengan nasyid. Waktu itu album nasyidnya adalah The Zikr: Antara 2 Cinta. Sejak saat itu aku langsung jadi penggemar The Zikr.

Waktu lagi musim-musimnya tenaga dalam di IPNU, mas Hasan lah yang mengisi tenaga dalam ke aku. Dengan prosesi semalam suntuk aku pun diisi tenaga dalam [sic!].

Mas Hasan lah yang mempelopori kegiatan tadabbur alam IPNU komisariat ke pegunungan Selok dan Srandil di Cilacap. Sampai di Adipala sudah magrib. Kami sholat magrib dan isya di Mushola dekat terminal Adipala. Selepas sholat kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Kami harus berjalan kaki dalam kelompok-kelompok kecil dari Terminal Adipala sampai di kaki pegunungan Selok. Departure kelompok-kelompok kecil itu diatur berselang beberapa menit. Untuk memberi petunjuk arah agar tidak ada kelompok yang tersesat kami menyepakati beberapa isyarat dengan senter.

Sepanjang jalan kami diberi tugas untuk menghafalkan informasi-informasi tertentu dari semua anggota kelompok, yang intinya agar kami bisa saling mengenal lebih dekat. Di kaki bukit Selok kami berkumpul kembali. Kami tidur di salah satu masjid.

Setelah sholat subuh, pagi-pagi buta kami mulai mendaki bukit Selok. Mas Hasan memberi pengarahan bahwa latihan (fisik) yang dilakukan saat itu adalah untuk mempersiapkan kami menghadapi masa-masa sulit di tahun 1998. Waktu itu (sekitar 1996), kami sudah memperoleh informasi dari beberapa orang yang “dekat” dengan Tuhan bahwa pada tahun 1998 akan terjadi huru hara besar di Indonesia. Dan kami harus bersiap-siap untuk menghadapinya.

Pagi harinya kami sudah sampai di… paradise…. Indah sekali laut pagi itu. Kami pun mengisi pagi itu dengan exercise kemampuan silat tenaga dalam kami. Beberapa teman berduel. Teman yang lain memperagakan jurus yang indah-indah. Sebagian lagi mandi di laut. Dalam euphoria kegembiraan kami itu, aku sempat melihat Mas Hasan memisahkan diri, menuju bagian pantai yang sepi, menggelar sajadah, dan sholat.

4. Pak Jauhari

Dia adalah anak seorang kyai dari (kalau tidak salah) daerah Jepara. Tinggal di sebelah kos-kosanku di Jalan ST Purwokerto. Awal ngajiku adalah ketika Encap teman sekamarku mengajakku ngaji di rumah Pak Jauhari. Orang tua Encap yang berafiliasi NU menghendaki anaknya dididik oleh orang NU. Ketika mengetahui ada anak kyai tinggal di sebelah kos-kosan anaknya, langsung saja orang tua Encap “menitipkan” anaknya untuk dididik oleh Pak Jauhari. Aku pun yang mengidentifikasikan diri sebagai anak NU akhirnya ikut ngaji juga.

Pengajian dimulai setelah isya. Dimulai dengan belajar membaca Al Qur’an, kemudian diteruskan dengan mengaji fikih. Sumber rujukan utamanya safinatunnajah. Ketika selesai safinatunnajah kami menggunakan sullamuttaufiq.

Selepas ngaji Al Qur’an di tempat Pak Sono di Banyumas, aku sempat ikut Iqro di TPA Attaqwa sampai selesai Iqro 6. Alhamdulillah, di TPA Attaqwa itu aku mulai sedikit lancar membaca Al Qur’an.

Di tempat Pak Jauhari-lah aku selanjutnya dididik bacaan Al Qur’annya. Kalau sebelumnya di Banyumas aku dididik bukan oleh (katakanlah) orang pesantren salafiyah. Maka di Purwokerto aku menghadapi Pak Jauhari yang berlatarbelakang pesantren. Walaupun pastinya tidak seketat pendidikan di pesantren aslinya (karena kami ngaji memang hanya part time) namun tetap saja kami mengalami masa-masa gemblengan makhroj dan tajwid. Belajar baca Al Fatihah pun sampai diulang berkali-kali.

Alhamdulillah, dengan gemblengan beliau aku mulai menikmati bahwa membaca Al Qur’an sesuai dengan tajwidnya ternyata sangat indah dan nyaman.

Btw, beliau pernah mengingatkan kami berdua untuk tidak ikut-ikutan Islam yang menyimpang, yang oleh beliau dideskripsikan dengan jenggot dan celana ngatung. Bagaimana seandainya beliau tahu bahwa saya sekarang ternyata sudah memenuhi deskripsi tersebut, ya (lol). Tapi gpp, bagi saya beliau tetap salah seorang guru yang saya hormati dunia akhirat.

5. Akh Fahmi

Pada kelas 3 SMA, aku pindah kos-kosan. Jauh dari Pak Jauhari dan berpisah dengan Encap. Di kos-kosan baru inilah aku mendapati pengajian model baru, yaitu model tarbiyah a la Ikhwanul Muslimin. Murobbinya Akh Fahmi, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman. Pesertanya 5 orang anak yang tinggal di kos-kosanku, yaitu aku, Suradi, Eri, Imam dan Anwar Sadat.

Bersama beliau kami belajar materi-materi tarbiyah seperti ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, ma’rifatu dinul islam, lengkap dengan segala bagan-bagan khasnya (barangkali bagan itu yang disebut tsawabit, ya? [lol])

Dengan beliau aku mengenal Islam yang berbeda. Kalau sebelumnya aku hanya mengenal Islam tradisional yang … yang … ya, yang tradisional lah (dalam segala aspeknya). Bersama Akh Fahmi aku mengenal Islam yang (terlihat) lebih muda dan modern.

Liqo berhenti menjelang UAN.

Selanjutnya aku sempat ketemu beliau lagi di Asrama UI sewaktu ada kegiatan musyawarah mahasiswa Hukum Se-Indonesia.

6. Dr Tyas Utomo Soekarsono

Kalau pas bersama Akh Fahmi aku ngaji model liqo sekedar untuk ngaji saja, tanpa menyadari adanya ruh harokiyah di baliknya, maka di Tahun 2001 – atas bantuan Akh Banu – aku memperoleh murabbi “resmi” pertamaku. Aku liqo bersama Azhar, Diar dan beberapa teman yang lain.

Murabbi-nya adalah Dr Tyas Utomo Soekarsono dipanggil Pak Uut. Beliau adalah Doktor Ekonomi lulusan University of Illinois at Urbana Campaign. Beliau pengajar dan peneliti di FEUI serta (waktu itu) berbisnis juga di NCR (itu lho, produsen vcd Islami itu).

Materi resmi yang diajarkan…, ya standar liqoan lah. Yang seru kan, additional menu-nya. Apalagi kalau bukan provokasi untuk segera menikah (lol). Maklumlah, ikhwah, lelucon syar’i-nya ya, everything about marriage.

Tapi yang tidak kalah seru dan ngangeni adalah anak-anak Pak Uut: Rais, Ja’far, Zaid dan Hafsoh (gak tau deh sekarang udah nambah lagi atau belum). Rais, anak pertama, dengan sifatnya yang dewasa dan tenang, mengayomi semua adik-adiknya. Ja’far, anak kedua, dengan sifatnya yang lincah dan suka nyerempet-nyerempet bahaya. Zaid yang (waktu itu) masih kecil, dengan badannya yang masih bulat, begitu bandel dengan ulah-ulahnya. Hafsoh yang masih bayi, menjadi kesayangan semua orang.

Istimewanya lagi, karena keempat anak itu lahir di deket Chicago sono (sekampung ama Candies White, hehe), mereka berempat jadi bilingual semua. Kalau ngomong sama ibunya pakai Indonesia, kalau ngomong sama bapaknya pakai English. Dan kedua-duanya fluent. Buat kita yang seumur-umur gak pernah bisa fluent ngomong English, keberadaan anak-anak itu jadi istimewa.

7. Pak Arifin

Murabbiku setelah Pak Uut adalah Pak Arifin. Mantan ketua KAMMI Semarang dan (waktu itu) baru kerja di Muamalat. Berbeda dengan Pak Uut dengan gaya ekonom dan pebisnis profesional, maka Pak Arifin ini adalah tipe harokiyyin sejati. Wess, pokoknya bergerak dalam jamaah teruss.

Yang istimewa dari Pak Arifin ini adalah jasanya memfasilitasi perjodohanku. Wah, ngomongin masalah ini bisa jadi postingan ratusan halaman. Satu kesimpulan singkat, top markotop deh.

8. Ustadz Effendi Anwar al Hafidz

Pada sekitar tahun 2000 – 2001 aku ikut tahsin di Masjid UI. Dari ustadz-ustadz tahsin di Masjid UI itulah aku mengetahui keberadaan seorang expert pendidikan Al Qur’an bernama Effendi Anwar al Hafidz. Beliau (waktu itu) memiliki LTQ yaitu LTQ Al Utsmani di daerah Condet. Oleh ustadz tahsinku di Masjid UI aku direkomendasikan untuk menuntut ilmu ke Ustadz Effendi.

Aku pun dibimbing oleh ustadz Effendi hingga ke tingkat yang lumayan tinggi untuk ukuranku yang mahasiswa ilmu umum (bukan ikhwan yang belajar syariah secara khusus). Aku diajari ilmu tajwid secara lengkap dan dididik membaca Al Qur’an hingga detail-detail kecil. Aku belajar menghafalkan Al Qur’an dibawah bimbingannya. Aku dididik dan diberi ijazah sebagai seorang pengajar Al Qur’an hingga level tahsin (aku nggak bisa mengajar tahfidz karena untuk tahfidz yang mengajar harus hafidz – penghafal Al Qur’an).

Di bawah beliau, aku pun diberi amanah mengajar Al Qur’an di beberapa tempat.

Bersama beliau, aku merasakan nyamannya hidup bersama Al Qur’an.

No comments:

Post a Comment