Wednesday, December 15, 2010

Kisah Pernikahanku yang Luar Biasa

Aku menikah sudah 7 tahun yang lalu. Anak pun sudah lahir dua. Tapi keindahan kenangan masa itu seolah takkan pernah habis dibagikan ke seluruh dunia.

Aku menikah pada tanggal 7 bulan 7 tahun 2003. Sebelumnya kuceritakan sedikit latar belakang sebelum pernikahanku.

Sejak akhir 2000, practically aku relatif sudah mulai self sufficient. Penghasilan dari mengajar di kampus, mengajar tahsin dan beasiswa sudah mencukupi untuk kebutuhanku. Lumayan tempting juga untuk mulai memikirkan menikah. Teman-temanku (khususnya para ikhwan) pun sudah memprovokasi terus menerus agar aku menikah. Tapi akhirnya aku berhasil mengatasi semua godaan. Aku kembali strict ke jadwal, mengedepankan akal dibandingkan godaan. Masih banyak yang harus aku lakukan agar istriku nyaman berada di sisiku.

Kalo Terry (Therius Graham Grandchester – true love-nya Candy) bertekat tidak akan mencintai seseorang seperti ayahnya, maka aku bertekat tidak akan mencintai seseorang seperti Terry. Berulang kali Terry menyesali ketidakmampuannya untuk “membawa” Candy dan hidup berdua. Kelemahan itulah yang akhirnya membuat semua pihak, baik Terry, Candy maupun Suzanna menderita. Aku tidak mau seperti itu.

Setelah lulus dan mulai mendapat pekerjaan tetap aku merasa bahwa tahapan resmi untuk menuju pernikahan bisa dimulai. Aku mengungkapkan keinginanku untuk menikah, pertama, kepada orang tuaku. Bapakku menyetujuinya dengan syarat bahwa “semua ongkos harus ditanggung penumpang”. Orangtuaku memang sangat menghargai kemandirian. Okelah, sebagai penumpang aku bersedia menanggung semua ongkos, walaupun terus terang uang yang ada di buku tabunganku waktu itu nggak nyampe 5 juta (walaupun cuma dikit untuk ukuran persiapan menikah seseorang yang tinggal di Jabodetabek, yang penting kan uang segitu benar-benar hasil jerih payahku sendiri).

Selain menyatakan ingin menikah. Aku juga menawarkan ke orang tuaku apabila mereka bisa menemukan calon yang cocok untukku silakan diusulkan.

Selain mengungkapkan ke orang tua – karena aku waktu itu masih berada dalam ikatan tarbiyah, maka – aku juga mengungkapkan keinginanku untuk menikah kepada murabbiku. Kupersilakan juga kepada murabbiku untuk mencarikan calon.

Sebagai pelengkap usaha mencari calon, aku pun meminta bantuan kepada teman-temanku, apabila mereka memiliki usulan calon yang sepertinya cocok, untuk diusulkan kepadaku. Walaupun aku tidak terlalu mengharapkan dapat calon dari jalur teman ini. Bagaimana bisa diharapkan, wong, mereka sendiri juga masih pada bujangan (lol).

Aku pun tidak tinggal diam, selain meminta bantuan orang tua, murabbi dan teman-teman, aku juga mencari sendiri. Tapi ternyata sulit juga untuk mencari sendiri. Terlalu banyak ekspektasi dan pandangan serta ancaman tidak bisa obyektif dalam menentukan pilihan membuat aku pusing sendiri. Memang, aku sempat berpikir untuk mengkhitbah adik temanku soalnya aku liat temanku itu lumayan bagus agamanya. Kirain adiknya juga bagus gitu. Tapi ternyata pas aku konfirmasi ke temanku ternyata … yah, masalahnya agak complicated jadi aku gak berminat lagi. Ternyata emang sulit kalau nyari sendiri. Terlalu banyak faktor harus diperhatikan sementara akses ke dunia perempuan juga terbatas.

Ditunggu-tunggu, akhirnya ada satu usulan nama dari orang tuaku. Kalo dihitung-hitung masih bisa dianggap saudara tapi sangat jauh sekali urutannya. Aku agak keberatan dengan usulan itu, selain orang tuaku belum bisa menjamin kualitas agamanya, aku sebenarnya lebih suka kalau menikah dengan orang yang sama sekali tidak ada hubungan saudara dari jalur sejauh apapun (kecuali dari jalur nabi Adam tentunya, hehe). Aku ingin mengusahakan bahwa pernikahanku menjadi ikatan persaudaraan baru antara dua keluarga besar yang tadinya tidak saling mengenal.

Ditunggu-tunggu lagi, ada lagi usulan nama. Kali ini dari murobbi. Ada beberapa nama. Setelah aku pikir-pikir. Akhirnya pilihan jatuh pada nama Alfin Nihayati Sholihah. Pertimbangannya seperti apa, bukan konsumsi publik, hehehe.

Beberapa hari setelah aku menentukan pilihan (waktu itu sekitar awal Juni 2003), aku bertemu dengannya pertama kali. Pertemuan dirancang ba’da Isya di rumah murabbiyah calon istriku. Kebetulan murabbiyah calonku itu adalah istri tokoh sentral pergerakan di daerah Bangka, Jakarta Selatan. Semua ikhwan pasti tahu rumah tokoh tersebut, jadi aku pun gak kesulitan menemukan letaknya.

Aku datang duluan, murabbiku baru menyusul datang berikutnya karena ada hambatan pekerjaan. Wah, suasananya formal banget deh. Serius terus. Kesan pertama sih, calonku itu, ya, ordinary akhowat lah, aktivis sejati gitu, yang serius terus. Belum kelihatan charming-nya. Tapi emang gak ahsan sih, kalo belum-belum udah charming kesana kemari.

Sehari setelah pertemuan pertama dilakukan pertemuan kedua. Tempatnya pindah ke rumah salah seorang ustadz di daerah Bangka juga. Di sinilah aku membulatkan tekad untuk mengkhitbah. Di buatlah rencana untuk menikah dalam jangka waktu satu bulan ke depan.

Mulailah persiapan. Calon istriku pulang ke kampungnya di dusun Balong, Gerih, Geneng, Ngawi untuk membicarakan segala sesuatunya. Aku menghubungi orang tuaku. Prinsip mereka setuju dengan calon dan siap mendukung kapan saja aku menikah. Aku juga menelepon calon mertua. Beliau pun cocok denganku.

Calon mertua sebagai host pernikahan pun mengurus segala sesuatunya. Akhirnya ditetapkan hari akad pernikahan 6 Juli 2003. Aku pun mengurus beberapa hal di Jakarta dan Depok. Pertama, mencari istana kontrakan tempat aku dan istriku bertahta tinggal nantinya. Kedua, mengumumkan kepada teman-temanku, dan mempersilahkan kepada teman-temanku yang berminat ikut untuk mendaftar agar bisa kupesankan tiket keretanya. Pertama, yang mendaftar ada 4 orang. Tapi akhirnya menyusut dua orang. Yang dua orang itu pun akhirnya membatalkan pesanan tiketnya karena akan bergabung langsung denganku di perjalanan (tidak bareng naik kereta ke Banyumas – kampungku – dulu). Dua yang hadir pun kurasa sudah cukup karena lokasi pernikahan yang memang cukup jauh dari Jakarta.
Ketiga, aku mempersiapkan izin kantor. Karena menikah di luar kota, aku mendapatkan cuti extra lima hari. Agar lebih mantap aku nambah cuti biasa atas beban cuti tahunan sehari.

Keempat, yang harus kupersiapkan adalah mahar. Calon istriku meminta maharnya berupa kitab tafsir Al Qurthubi lengkap. Atas petunjuk istriku aku pun menelepon beberapa toko penyedia kitab berbahasa Arab di Jakarta. Yang pertama adalah toko kitab di daerah Matraman. Aku lupa namanya. Yang kedua adalah toko kitab Dar El Fikr di Jalan Otista. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli kitab di Dar El Fikr. Dengan membonceng akh Andry, teman tahfidz-ku, yang rumahnya sekitar Jakarta Timur akhirnya sampai juga aku di Dar El Fikr Otista.

Keseluruhan kitab tafsir itu ada 10 kitab tebal-tebal. Atas pertimbangan kepraktisan, kitab yang akan diserahkan secara simbolis pada acara akad adalah kitab jilid pertama dan terakhir (fihris). Jilid selainnya aku serahkan langsung kepada calon istriku di kos-kosannya di daerah Bangka.

Pas naik taksi dari Otista ke Bangka, aku ditanyain sama sopir taksinya buat apa aku beli kitab sebegitu gedenya. Aku bilang aja buat mahar. Eh, sopirnya komentar, maharnya keberatan. Katanya aku mendingan ngasih mahar yang biasa-biasa aja kayak peralatan sholat misalnya. Peralatan sholat menjadi simbol agar Istri bisa rajin sholat dan suami pun gampang mengontrolnya. Tapi kalau maharnya kitab gede kayak gitu, suami bisa kesulitan ngontrol apa istrinya sudah comply dengan kitab itu apa belum. Gitu argumentasinya. Aku sih bilang bahwa mahar itu hak Istri. Terserah dia mintanya apa. Dan karena calon istriku mintanya kitab Al Qurthubi ya aku penuhi lah.

Persiapan lain yang sangat vital adalah masalah keuangan. Uang tabunganku waktu itu sekitar 6 jutaan. Sejuta untuk beli mahar, dua juta untuk bantu-bantu biaya akad di kampung istriku, sejuta untuk bikin syukuran kecil-kecilan di kampungku, sisanya untuk transportasi dan akomodasi kesana kemari serta biaya tak terduga lainnya.

Mendekati hari H, ahad tanggal 6 Juli 2003, calon istriku memberi tahu bahwa Naib (penghulu) yang akan menikahkan kami berhalangan pada tanggal 6 sehingga pernikahan diundur menjadi hari senin tanggal 7 Juli 2003. Kalau hal ini terjadi pada pasangan lain, barangkali mereka akan panik dan sewot. Soalnya mereka pake nyebar undangan, pesan tempat, pesan katering dll. Kalo aku mah, no problemo, mau mundur atau maju silakan.

Hari jumat 4 Juli 2003, aku mulai menjalani cuti menikah. Aku menggunakan hari jumat tersebut untuk pindahan dari kos-kosanku yang lama ke vilaku di tepi danau di skotlandia kontrakanku yang baru.

Hari sabtu pagi aku terburu-buru mengejar kereta Purwojaya yang akan membawaku ke Banyumas (kampungku). Nyaris saja aku terlambat. Alhamdulillah, aku berhasil sampai gambir right on time. Begitu aku masuk pintu gerbong, belum sempat aku menemukan tempat dudukku, kereta sudah bergerak meninggalkan stasiun.

Sabtu siang, aku sampai di Banyumas. Langsung saja aku terlibat dalam persiapan-persiapan keberangkatan ke Ngawi. Aku mempersiapkan mahar yang akan diserahkan secara simbolis. Bapakku meminjam mobil dari Saudaraku. Ibuku mempersiapkan konsumsi untuk perjalanan.

Ahad pagi tanggal 6 Juli, berangkatlah aku, bapak ibuku dan dua orang adikku ke Ngawi menggunakan satu mobil pinjaman. Di kemranjen kami mampir ke rumah Pakde Karjo, salah satu saudara yang akan menemani. Di kebumen kami mampir ke rumah Banu, temanku, untuk mengangkut dua penumpang tambahan yaitu Banu dan Asep, dua orang teman yang akan menghadiri pernikahanku.

Di solo kami beristirahat sejenak untuk sholat dan makan siang. Sore hari kami sampai di Pom Bensin Geneng, tempat kami membuat janji dengan calon kakak iparku yang akan mengantar kami ke rumah calon Mertuaku di dusun Balong.

Minggu malam diadakan pertemuan formal pertama antara keluargaku dan keluarga calon istriku. Sebelum malam itu, keluarga kami belum pernah bertemu muka. Secara formal, malam itu kami mengadakan acara lamaran. Kami sekeluarga beserta dua temanku menginap di rumah calon Mertua.

Paginya, senin tanggal 7 Juli 2003 diadakan akad nikah. Undangan datang dari warga Balong sekitar situ. Alhamdulillah, tanpa perlu bersusah payah menjelaskan mengenai syariat menghindari ikhtilat, setting acara saat itu sudah lumayan syar’i. Sepertinya adat kebiasaan daerah situ memang seperti itu. Mungkin karena daerah Balong ini memang daerah yang lumayan nyantri. Jadi aku, keluarga dan temanku yang laki-laki, keluarga mempelai wanita yang laki-laki dan undangan yang semuanya laki-laki berkumpul di satu ruangan untuk menyaksikan akad. Sementara mempelai perempuan dan semua perempuan lainnya berkumpul di tempat yang berbeda dengan dibatasi tabir.
Sesuai permintaan calon istri, acara akad nikah diawali dengan pembacaan (tasmi') hafalan Al Qur'an surat Al Furqon ayat 61-77 oleh aku.

Pas akad ternyata bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Soalnya naib dan kerabat yang hadir di situ tahunya istriku bisa berbahasa Arab, jadinya mereka berinisiatif untuk menggunakan bahasa Arab. Alhamdulillah-nya, walaupun gak semahir istriku, aku agak paham sedikit-sedikit bahasa Arab. Aku pun memahami apa yang diucapkan oleh wali istriku dan apa yang aku ucapkan: qobiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkuri, haalan: aku terima nikah dan kawinnya dengan mahar seperti apa yang telah disebutkan, tunai.

Setelah khutbah nikah (yang juga dibacakan dalam bahasa Arab) dan doa, aku menemui istriku di tempat perempuan, sungkem-sungkeman ke orang tua. Setelah itu acara formal selesai. Aku dan istriku masuk kamar sholat berdua. Setelah itu foto-fotolah kami bersama seluruh keluarga besar kami.

Siangnya, kami sekeluarga dari Banyumas pamit kembali ke Banyumas. Aku pun memboyong istriku ikut serta ke Banyumas. Sewaktu mampir sholat ashar, kami beli eskrim. Sampai di Jogja, Banu dan Asep turun. Mereka mau liburan di Jogja. Dengan turunnya Asep dan Banu maka konfigurasi tempat duduk di Mobil berubah. Kalau sebelumnya aku duduk di belakang bersama Asep dan Banu, sementara istriku duduk di bangku tengah bersama ibuku dan adik-adikku, maka sekarang bangku belakang diisi oleh Mas Karjo dan adik-adikku, ibu dan bapakku di bangku depan, sementara di tengah aku berdua dengan istriku.

Saat itu bisa dibilang merupakan saat-saat pertama (dalam hidupku) aku bisa berdekatan dalam jangka waktu sangat lama dengan seorang perempuan. Saat itulah kami mengadakan prosesi informal yaitu… saling bertukar hp. Pertukaran hp seolah-olah melambangkan bahwa kami telah membuka diri pada pasangan. Dengan pertukaran hp kami bisa membaca siapa saja teman kami masing-masing, laki-laki maupun perempuan, dengan siapa kami bergaul, bagaimana isi inbox kami, bagaimana call records kami masing-masing. Semua informasi tidak ada yang ditutup-tutupi, semua terbuka bagi pasangan.

Kami sampai di Banyumas sekitar jam 11 malam.

Hari-hari berikutnya kami habiskan di Banyumas: memperkenalkan Istri ke kerabat-kerabat di Banyumas dan di Cilacap serta membuat acara syukuran kecil-kecilan di rumah orang tuaku di Banyumas.

Hari ahad malam tanggal 13 Juli, kami berdua berangkat ke Jakarta menggunakan kereta Purwojaya dari Purwokerto. Sampai di Gambir sekitar pukul 2. Kami berdua naik taksi. Aku mengantarkan istriku ke … kos-kosannya di Bangka sebelum aku sendiri pulang ke Depok. Lho… kok berpisah yang satu ke Bangka yang satu ke Depok?

Aku lupa tadi belum bercerita bahwa sebenarnya saat kami menikah, istriku belum lulus dari kuliahnya, kurang beberapa pekan lagi sebelum lulus. Dan karena hari senin tanggal 14, istriku sudah harus masuk kuliah, maka kami pun berpisah sementara.

Demikianlah, selama beberapa minggu sisa kuliah istriku, kami tidak sepenuhnya tinggal bersama. Pada hari libur kami memang menghabiskan waktu berdua di vilaku di skotlandia kontrakan kami di Depok. Tapi pada hari kerja kami berpisah.

Alhamdulillah-nya, tempat kerjaku di daerah Mampang dekat dengan kos-kosan istriku di Bangka. Sering aku setelah jam kerja selesai nyamperin istriku untuk dating. Jalan-jalan ke Plaza Tendean, atau makan eskrim di Hero Mampang (sekarang Giant), cari stationary di Trio, liat barang-barang yang dijual di pasar kolong flyover mampang (waktu itu di kolong masih banyak yang jualan) atau sekedar menghabiskan malam melihat bintang di langit dari atas bukit pony loteng di kos-kosan istriku. Masa-masa itulah kami pacaran.

Membicarakan pernikahan tidak lengkap kalau tidak (sedikit) menceritakan bride-nya. Namun, karena alasan privasi dan syar'i aku tidak bisa menceritakan keseluruhan detail tentang istriku.

Semakin lama mengenal istriku, semakin sempurna dia di mataku. Kalau Kaisar Qianlong di Novel Huan Zhu mengatakan bahwa wanita itu seperti buku, maka aku katakan bahwa istriku tidak hanya seperti buku, tapi lebih khusus lagi seperti textbook.

Aku bersyukur bahwa istriku cukup mendekati standar dari segala sisi.

Aku bersyukur bahwa istriku ternyata sangat menyenangkannya kepribadiannya. Charming, caring, loving character-nya membuatnya menjadi real Candies White buatku. (bahkan lebih istimewa dari Candy karena istriku rajin dan pinter masak, tidak sembrono seperti Candy)

Aku bersyukur juga bahwa istriku bukan tipe orang yang fanatik. Dalam masa transisi manhajiyah dari tarbiyah ke manhaj salafussalih, istriku menjadi sparing partner diskusi yang paling menyenangkan dengan pandangannya yang positif, kritis dan tidak fanatik. Dengan latar belakangnya yang "tahu dalil" plus nggak fanatik, alhamdulillah membuat diskusi antara kami menjadi diskusi yang produktif dan ruju'lah kami bersama-sama ke manhaj salafussalih.

Dengan Istri tipe textbook seperti itu, Insya Alloh aku memiliki modal yang besar untuk menciptakan keluarga yang juga seperti textbook keluarga sakinah. Aamiin.

1 comment:

Anonymous said...

:) hehehe ketawa ketawa sendiri bacanya...teutep gak bisa lepas dari candy candy dan bukit poninya... congrat ya, semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, kebersamaannya semoga menjadikan semakin dekat kepada-Nya

Post a Comment