Monday, December 20, 2010

Penuntut Ilmu Istimewa

Hari sabtu kemarin aku ikut kajian Ustad Yazid di Masjid UI Depok. Seperti biasa, pengajian berlangsung luar biasa. Setiap kali ikut kajian aku seolah bisa merasa segar kembali. Segar dalam segala hal, jasmani dan rohani.

Tapi ternyata ada hal yang lebih luar biasa lagi yang aku saksikan saat itu.

Pada waktu pengajian aku, seperti peserta pengajian lain, hanya memperhatikan layar lcd besar di mihrab. Aku tidak sempat memperhatikan siapa saja peserta pengajian saat itu. Baru setelah selesai sholat dzuhur dan jamaah mulai bergerak ke luar masjid aku sedikit banyak memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Kutemukan beberapa temanku di sana.

Namun ada satu wajah yang sangat menarik perhatianku. Dia adalah salah seorang pejabat tinggi di negeri ini. Lebih tepatnya pimpinan di salah satu lembaga penegakan hukum. Sengaja tidak kuungkapkan namanya di blog ini soalnya aku nggak tahu gimana prosedur pengamanan untuk “salah satu musuh koruptor nomor satu di Indonesia”. Paling clue yang bisa saya berikan adalah bahwa dia pimpinan salah satu lembaga penegakan hukum di Indonesia. Lembaganya apa, bisa KPK, PPATK, Polri, Kejaksaan, Satgas mafia hukum atau yang lain.

Dia berjalan dari shof depan ke belakang. Di shaf-shaf belakang sepertinya dia bertemu dan berbincang akrab dengan beberapa temannya. Kulihat penampilan sang pejabat berbeda dengan temannya. Sang pejabat pakai batik dan celana pantalon hijau biasa sementara temannya pakai gamis dan celana putih plus berjenggot tebal. Tapi gak apa-apa, manhaj itu letaknya pada metodologi kita memahami agama, bukan sekedar pada penampilan luar.

Kemudian aku keluar. Maksud hati hendak menemui salah satu temanku satpam masjid UI, siapa tahu dia lagi berjaga di parkiran. Ternyata dia lagi gak dinas. Aku pun melangkah lagi ke gerbang masjid. Eh, kulihat lagi sang pejabat. Kali ini dia lagi ikut ramai-ramai mengerubungi stand penjualan buku panitia kajian. Tanpa jarak, dia bergaul dengan ikhwan-ikhwan salafiyyin lain. Keluar dari kerumunan dia terlihat menenteng tas plastik transparan berisi buku-buku dan atau cd kajian. Cukup banyak juga buku dan atau cd yang dia beli.

Melangkah beberapa meter dia bertemu dengan penjual soto mie pikulan yang sudah cukup tua. Setelah menyalami tukang soto mie, dia pesan semangkok. Dia juga beli aqua botol ke tukang asongan di sebelah tukang soto mie. Setelah itu, dia duduk di atas tutup ruang pompa air masjid UI, menikmati soto mie sambil mengobrol dengan beberapa jamaah lain.

Selesai makan, dia jalan kaki ke Fakultas Hukum. Mungkin dia ada jadwal mengajar di sana. Aku pun mengambil motor dan kemudian pulang.

Sambil pulang aku terus berpikir. Pikiran pertama yang muncul: wah, ternyata dakwah bermanhaj salaf diminati juga oleh pejabat-pejabat negara yang idealis seperti dia. Manhaj salaf bukanlah manhaj yang eksklusif dan menakutkan. Manhaj ini ramah dan terbuka untuk semua orang.

Kemudian terpikir juga olehku bahwa ternyata race menuju salafiy sejati saat ini tidak hanya diikuti oleh orang-orang berpenampilan standard salafiy dan. Orang-orang yang berpenampilan biasa pun memiliki hak untuk mengikuti race ini.

Di sini saya tidak akan ekstrim mengatakan bahwa penampilan fisik tidak penting dan yang penting hanya hati saja. Penampilan fisik tetap penting karena sedikit banyak bisa menjadi cerminan apa yang ada dalam hati. Tapi menilai semata dari tampilan fisik pun tidak fair. Lebih tepat bagi kita untuk menyerahkan penilaian akhir pada Alloh.

Bisa jadi ada orang yang berpenampilan standar salafiy dan berkoar-koar mengenai salafiy, namun karena terjatuh dalam kesalahan-kesalahan besar tertentu sehingga di hari akhir Alloh tidak berkenan memasukkannya langsung ke surga. Namun bisa jadi juga ada orang yang mungkin terlihat biasa, namun karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu dan jasa-jasanya untuk masyarakat, kemudian Alloh berkenan untuk mengampuni kesalahan-kesalahannya dan kemudian memasukkannya langsung ke Surga. Wallahu a’lam.

“Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (Al A’raaf: 99)

No comments:

Post a Comment