Wednesday, October 20, 2010

Anakku Gak Mau Masuk Surga??

“Mas it mau di rumah aja. Gak mau masuk surga. Rumahnya Mas it kan bagus.” Begitu Zaid berkata suatu hari ke istriku (Zaid dipanggil Mas it di rumah).

“Nan gak au acuk uga.” Inan (yang selalu niruin setiap kata kakaknya) ikut-ikutan ngomong.

Gawat, pikirku ketika bundanya zaid cerita omongannya zaid itu. Analisis spontan kami mengapa zaid ngomong seperti itu kayaknya karena dia takut pada kematian. Pernah memang dia meyakinkan ke kami orang tuanya, bahwa orang-orang tersayang dan terdekatnya gak boleh mati. Ayah gak boleh meninggal, bunda gak boleh meninggal, eyang gak boleh meninggal, atung gak boleh meninggal, mbah gak boleh meninggal dan seterusnya.

Perasaan yang wajar saja menurutku untuk ukuran anak empat tahun yang belum banyak tersibghoh nilai-nilai Islami. Bukankah manusia memang pada dasarnya menginginkan keabadian dan takut mati. Perasaan inilah yang pada banyak kejadian bisa menyelamatkan manusia dari kematian konyol.

Tapi pikirku, wah, gawat juga kalau pemikiran takut mati itu kemudian sampai mempengaruhi pendapatnya mengenai surga.

Seiring waktu, aku belum menemukan pemecahan masalah pendapat zaid itu kecuali mengharapkan kelak setelah dia banyak menyerap nilai-nilai Islami, dia akan merubah pendapatnya. Masalah itu pun mulai agak terlupakan.

Pada suatu hari, sambil senyum-senyum, istriku menceritakan suatu analisis baru mengenai pendapat zaid tersebut. Menurutnya, zaid tidak ingin ke surga karena dia sudah nyaman di rumah kami.

Kalau dipikir-pikir benar juga sih. Dari semula zaid tidak pernah menyinggung kematian. Zahir ucapannya langsung menyandingkan antara rumah dan surga “Gak mau ke surga. Rumah mas it bagus.” Begitu katanya.

Dari satu sisi analisis itu bisa membuat kami, orang tua zaid dan inan, untuk sedikit merasa bangga. Sepertinya memang anak-anak kami merasa begitu nyaman di rumahnya. Kata orang-orang yang pernah tinggal di rumahku sih, memang katanya rumahku hanya terisi kedamaian. Kalaupun ada yang nggak damai paling zaid sama inan lagi bertengkar. Tapi bertengkarnya anak kecil kan tidak mempengaruhi penilaian damai tidaknya sebuah rumah.

Terimakasih zaid, ternyata kamu menilai rumah kita sudah begitu nyaman. Padahal kadang kamu juga dimarahin sama ayah atau bunda. Padahal ayah bunda juga kadang pulang udah kecapekan gak bisa main bareng. Padahal ayah bunda juga jarang beliin mainan atau ngajak ke taman-taman bermain.

Padahal rumah kami juga biasa saja (setidaknya kalau dibandingkan dengan rumah pegawai-pegawai di kantorku yang katanya gudang duit itu). Dibandingkan dengan rumah teman-teman zaid, rumah kampungku juga relatif lebih sederhana. 
Zaid dan Inan lagi main odong-odong dengan latar belakang rumah sederhanaku.
Alhamdulillah
Tapi semuanya ternyata tidak mempengaruhi penilaian zaid atas rumah kami dan tentunya ayah bundanya. Terimakasih sekali lagi zaid. Mudah-mudahan rumah kita memang benar-benar bisa menjadi surga kita di dunia.
Zaid lagi bantuin ngisi ember pas pompa rumah kami rusak.

Kedamaian zaid dan inan.

----------------
Eh, tapi walaupun punya pendapat gak mau masuk surga, tapi - alhamdulillah - anak-anakku tetap semangat ibadah. Kami orang tuanya memang mencoba membiasakan anak-anak kami sholat dan ngaji. Motivasi utama yang kami ajarkan adalah "biar Alloh sayang." Selain itu juga "biar nggak diganggu setan."

No comments:

Post a Comment