Thursday, November 4, 2010

Pemberontakan Bernama Bike To Work

Jakarta dan sekitarnya telah berkembang menjadi megapolitan. Persis seperti pola perkembangan megapolitan yang saya pelajari di geografi SMA. Daerah pusat bisnis di tengah-tengah, kemudian ada pemukiman kelas atas di dekat pusat (menteng, pondok indah, permata hijau, kelapa gading), kemudian dikelilingi oleh kawasan industri (pulogadung, jalan raya bogor dll), kemudian dikelilingi lagi oleh pemukiman menengah ke bawah (bekasi, depok) yang diselingi juga dengan kawasan industri (jababeka, karawang dll) kemudian ditutup tempat tetirah (bogor, bandung).

Keadaan seperti itu menuntut sistem transportasi umum yang nyaman, ramah dan terintegrasi. Celakanya, sistem itulah yang tidak dimiliki Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya semua orang berlomba memakai kendaraan pribadinya masing-masing. Yang kalangan atas menggunakan mobil mewah lengkap dengan sopir dan kadang fore-rider. Yang menengah pakai mobil atau motor. Yang kalangan bawah dengan motornya. Akhirnya ya, macet. (Oleh karena itulah sebenarnya kunci pemecahan macet di Jakarta ya pada angkutan massalnya. Cukup itu saja)



Dalam kondisi yang sudah terlanjur semrawut itulah sebagian warga ada yang berinisiatif menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya menuju tempat kerja. Dengan menggunakan sepeda maka badan bisa sehat, polusi juga akan menurun. Mereka pun gencar mempromosikan sepeda sebagai alat transportasi.


Tapi sebenarnya – menurut saya – pemecahan masalah Jakarta bukanlah menggunakan sepeda. Sekali lagi ditegaskan bahwa yang dibutuhkan Jakarta adalah transportasi umum yang nyaman, ramah dan terintegrasi. Kalaupun akhirnya semua orang yang kerja di Jakarta menggunakan sepeda (dan ini tidak mungkin terjadi), belum tentu masalah transportasi akan teratasi.

Sepeda bukan pemecahan masalah Jakarta karena tidak mungkin seluruh orang yang kerja di Jakarta menggunakan sepeda. Sebagian di antara pekerja ada orang tua, ada orang cacat, ada ibu hamil dan – ini yang paling penting – kondisi megapolitan memang tidak mengizinkan sepeda menjadi transportasi sehari-hari untuk tujuan komuter.

Kalau kita tinggal di Jogja atau Cilacap atau kota lain sih, mungkin saja menggunakan sepeda untuk tujuan komuter. Tapi kalo kita tinggal di Megapolitan Jakarta (Jakarta dan sekitarnya), maka kita akan kesulitan untuk menggunakan sepeda sebagai alat utama. Seperti yang telah disebutkan di paragraf pertama tulisan ini. Pola perkembangan Megapolitan memang sangat rumit dan mencakup wilayah sangat luas. Akibatnya sebagian besar pekerja di Jakarta akan menempuh jarak yang “kurang ramah” untuk ditempuh dengan sepeda setiap hari. Memang ada sih sebagian kecil penduduk yang tinggal di dekat tempat kerja mereka (misalnya tinggal di menteng atau kebayoran baru dan bekerja di Sudirman Thamrin, atau tinggal di depok dan bekerja di depok) tapi mayoritas mutlak dari pekerja di Jakarta akan cenderung bertempat tinggal relatif jauh dengan tempat kerjanya.

Hal ini sebenarnya juga disadari oleh para Goweser Bike to Work. Sebagian dari mereka pun memilih untuk tidak setiap hari menggunakan sepeda karena jarak yang memang “tidak ramah” untuk bersepeda setiap hari.

Oleh karena itu tetap, pemecahan utama masalah Jakarta bukan pada pengembangan bike to work atau pembuatan jalur sepeda, tapi tetap pada pengembangan transportasi umum massal yang ramah, nyaman dan terintegrasi. Bike to work dan jalur sepeda boleh dikembangkan, tapi bukan itu kunci penyelesaian masalah Jakarta.

Bike to work bisa dibilang hanyalah semacam fenomena pemberontakan terhadap kondisi transportasi Jakarta yang tidak nyaman dan polutif. Otoritas pemerintah harus melihatnya sebatas itu karena memang sepeda tidak bisa menyelesaikan masalah. Jadi jika pemegang otoritas melihat ada serombongan goweser bike to work, hendaknya dilihat bahwa mereka sebenarnya sedang berdemonstrasi secara tidak langsung, menuntut agar otoritas menyediakan transportasi yang aman dan ramah lingkungan bagi warganya.

1 comment:

Anonymous said...

great

Post a Comment