Friday, June 24, 2011

Gerhana, Planisfer dan Cerita Lainnya

Gerhana bulan kemarin aku nggak nonton. Pulang kantor jam 5-an sore sih masih semangat mau nonton. Maghrib ke mushola bareng anak-anak ngeliat ke langit… mendung. Tapi masih berharap semoga nanti malam terang. Isya masih mendung juga, mulai khawatir sedikit. Abis isya tidur sebentar. Bangun-bangun jam 9, masih mendung juga. Mulai desperate. Ditungguin sampai jam 11 masih mendung juga. Akhirnya langit kutinggalin dan tidur sampai pagi. Peduli amat sama langit yang lagi gak bersahabat.

Aku tambah sebel ama langit kotaku pas kemarin sabtu aku mudik ke Jawa Timur. Ternyata di sana langit cerah. Dan memang setiap hari cerah. Bahkan waktu balik ke Jakarta di perjalanan aku masih sempet liat dari jendela bisku bahwa di Jawa Tengah langit juga cerah. Kayaknya emang cuma di kotaku aja yang langitnya doyan banget mendung. (Soalnya mendungnya emang cenderung persisten tiap malam, gak cuma malam gerhana kemarin) Aku jadi tambah semangat buat balik kerja di kampung suatu saat nanti.


Dari pada ngedumel, mending cerita hal lain yang masih ada kaitannya sama langit. Yaitu cerita tentang planisfer. Apa itu planisfer. Secara singkat planisfer adalah peta bintang.

Aku satu-satunya planisfer fisik (bukan soft file) yang aku miliki adalah peta bintah yang dibeli di Planetarium Jakarta pada tahun 1994 yaitu pas jalan-jalan SMP 1 Banyumas ke Jakarta. Sedikit cerita tentang jalan-jalan itu begini.

Waktu itu tahun 1994 sebelum liburan kelas 2 naik kelas 3, kami pengurus kelas 2 dari 2A sampai 2H dikumpulkan di ruang kelas 2A setelah kelas usai. Kami diberi pengarahan mengenai rencana tur angkatan kami. Kami diberi pilihan beberapa tempat. Ada Jakarta, ada Bandung dan beberapa tempat lain yang aku sudah lupa. Penentuan tempat tur dilakukan dengan voting. Aku sebagai penggemar berat astronomi langsung menjatuhkan pilihan pada Bandung karena ada Observatorium Bosscha di sana. Walaupun di Jakarta juga ada planetarium, tapi tetap saja, ibukota astronomi Indonesia adalah Bosscha. Ternyata Bandung kalah. Yang menang Jakarta.

Karena Bandung kalah aku jadi males mau ikut. Apalagi pas mendekati hari H-nya aku mendapat informasi “tertentu” yang menyebabkan aku tambah males aja ikut (biasa lah, abg, ada aja alasannya). Tapi karena orang tua sudah mbayarin ya akhirnya tetep ikut.

Sepanjang jalan ke Jakarta aku lebih banyak sibuk dengan pikiranku sendiri (sambil mendendangkan “I Swear”-nya All 4 One sendiri). Di Jakarta pun begitu, aku lebih sering sendiri, sibuk dengan pikiran sendiri. Rasanya males aja. Satu-satunya hiburanku waktu itu ya di Planetarium. Aku lumayan terhibur melihat indahnya Pleiades (7 bidadari langit) di kubah planetarium. Di situlah pula aku membeli satu-satunya oleh-oleh Jakarta-ku, Planisfer.

Dengan planisfer itu aku makin rajin melihat langit di kelas 3 SMP. Dan planisfer itulah menjadi satu-satunya andalanku melihat langit sampai beberapa tahun lalu saat aku mengenal software peta bintang.
Sebelum aku punya laptop sendiri aku cukup puas dengan skymap.org atau google earth versi langit. Setelah punya leptop aku pake stellarium. Lumayan lah stellarium, gratis. Sebagai amatir, aku gak perlu yang berbayar. Yang gratisan saja sudah cukup.

No comments:

Post a Comment