Tuesday, January 11, 2011

Global Warming atau Global Cooling?

Akhir 2010 kemarin sampai awal 2011 ini cuaca buruk (kembali) menerjang sebagian belahan dunia. Kejadian paling banyak diliput adalah salju tebal yang melanda Eropa dan banyak mengakibatkan pembatalan penerbangan dan musibah-musibah lain. Di sebagian Amerika Serikat juga badai salju tebal kembali menerjang. Walaupun tidak separah awal tahun 2010, tapi tetap bisa dianggap buruk. India utara mengalami cuaca buruk yang membekukan sampai menimbulkan korban jiwa. Lima provinsi di Cina diterjang cuaca dingin dan hujan es yang menghancurkan panen petani. Curah hujan yang tinggi, cuaca dingin dan bahkan hujan salju melanda sejumlah negara bagian di Australia yang seharusnya mengalami musim panas. Banjir besar melanda Srilanka. Banjir dan tanah longsor menimpa Brasil. Di Indonesia, cuaca buruk berpengaruh pada harga cabe yang merupakan makanan "pokok" (hehehe) sebagian rakyat Indonesia.

Semua kejadian di akhir 2010 dan awal 2011 ini mengingatkan kita pada kejadian di tahun sebelumnya dimana cuaca buruk yang cenderung dingin menerjang di mana-mana. Ini membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya sekarang kita sedang mengalami pemanasan global seperti yang sebelumnya ramai digembar-gemborkan atau justru global cooling?

Saya jadi teringat tulisan pak Ma'rufin di Suara Merdeka tahun lalu. Untuk membahas masalah ini kita memang perlu penjelasan ahli dan saya kira penjelasan pak Ma'rufin itu cukup baik. Oleh karena itu, saya kutip kembali penjelasan beliau itu. (konteks pembahasan beliau waktu itu adalah cuaca buruk di awal 2010)

------------awal kutipan-------------------
................
Cuaca ekstrem pada dua bulan pertama 2010 diyakini merupakan dampak dari tenangnya aktivitas Matahari khususnya selama setahun terakhir. Sepanjang tahun 2009 satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) milik NASA dan ESA mencatat permukaan Matahari bersih (bebas dari bintik Matahari) selama 260 hari atau terbesar sepanjang 100 tahun terakhir kecuali di tahun 1913. Sejak 2004 Matahari sudah mencetak 772 hari tanpa bintik Matahari, sementara rata-rata normalnya seharusnya hanya 485 hari, sehingga berlawanan dengan isu Kiamat 2012, Matahari pada hari-hari mendatang khususnya dalam siklus bintik ke-24 yang telah dimulai sejak Desember 2008 diprediksikan memiliki aktivitas lebih tenang dibandingkan dengan siklus-siklus bintik sebelumnya.

Badan pengawas atmosfer dan kelautan AS (NOAA), yang semula berpegangan pada Simposium Fisika Matahari 22°V23 Mei 2008 yang meramalkan aktivitas Matahari akan meningkat dan menghasilkan badai Matahari yang potensi kerusakannya setara dengan terjangan badai Katrina (lihat SM 21/12/009), pun telah mengubah prediksinya di mana Matahari akan memasuki periode paling tenang bahkan untuk kurun waktu seabad terakhir.

Model matematis yang disusun astronom Dr Dhani Herdiwijaya dari ITB pun sejalan dengan prediksi NOAA di mana siklus Matahari saat ini akan berpuncak pada April/Mei 2014 dengan bilangan bintik Matahari hanya ~ 40.

Tenangnya aktivitas Matahari menyebabkan intensitas cahaya Matahari yang sampai ke Bumi sedikit lebih rendah dibandingkan nilai normalnya 1.367 watt per meter persegi. Karena aktivitas Matahari berkontribusi 33% terhadap dinamika suhu permukaan Bumi, maka penurunan intensitas cahaya Matahari akan berkontribusi pada menurunnya suhu Bumi. Maka, terjadilah pendinginan global (global cooling) yang ditandai dengan penurunan suhu Bumi khususnya di wilayah subtropis dan lingkar kutub disertai meluasnya tudung es kutub dan gletser, disusul cuaca ekstrem. Dengan umur rata-rata siklus bintik Matahari 10,4 tahun dan siklus bintik ke-25 pun diprediksikan menempatkan Matahari dalam kondisi tenang, maka pendinginan global akan terasakan sejak 2009 hingga 2030 .
Dampak Pendinginan global di masa lalu sering dihubungkan dengan zaman es kecil, yakni periode di antara awal abad ke-15 hingga awal abad ke-20 di mana suhu Bumi lebih rendah dibanding normalnya. Dalam era kontemporer yang sedang didera isu pemanasan global akibat meningkatnya emisi gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya sebagai produk aktivitas manusia, sehingga muncul Coppenhagen Accord yang menyepakati penurunan emisi gas rumah kaca dan Indonesia menargetkan untuk memotong emisi 26% hingga 47%, sekilas pendinginan global dianggap sebagai berkah terselubung. Namun, tunggu dulu! Fenomena pendinginan global juga bisa menimpakan dampak serius terhadap peradaban manusia.

Zaman es kecil di masa silam ditandai oleh dua ekstrimitas: periode minimum Maunder dan minimum Dalton. Minimum Maunder yang terjadi tahun 1645 - 1715, ditandai dengan sangat rendahnya bintik Matahari yang teramati, yakni hanya 50 buah per 30 tahun tersebut, sementara normalnya seharusnya berjumlah 40.000 - 50.000 bintik per 30 tahun. Ini membuat sungai dan kanal di Eropa utara membeku, sehingga memutus suplai irigasi yang berakibat pada kegagalan panen dan terjadinya kekurangan pangan.

Kondisi yang sama pun terjadi di Amerika Utara, bahkan lebih parah. Permukiman suku bangsa Viking di Greenland terjepit oleh bencana kelaparan hingga akhirnya musnah. Sementara di China, berkecamuknya bencana kelaparan nan dahsyat menyebabkan kanibalisme menggejala. Dikombinasikan dengan merebaknya bencana penyakit sampar di masa itu, maka zaman es kecil menghasilkan bencana kematian terbesar sepanjang sejarah.

Kondisi yang mirip terulang kembali pada minimum Dalton yang terjadi pada 1790 - 1830 M, meski dalam skala lebih kecil. Dikombinasikan dengan melimpahnya debu vulkanik di atmosfer Bumi akibat letusan katastrofik Gunung Tambora di Indonesia pada 1815, minimum Dalton menghasilkan anomali cuaca yang ekstrem dan menyebarnya penyakit.

Anomali bahkan menyebabkan tahun 1816 berlalu tanpa adanya musim panas khususnya di belahan Bumi utara dan menjadi salah satu penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte di medan pertempuran Waterloo sekaligus mengakhiri mimpi akan imperium kekaisaran Prancis.

Ilmuwan dalam Conference of The Earth and Space Sciences 2010 di Bandung, Januari 2010, memperingatkan agar Indonesia segera bersiap-siap dengan rencana mitigasi mengantisipasi fenomena global cooling, mengingat sebagai benua maritim, Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor cuaca ekstrem lainnya seperti Indian Ocean Dipole Mode (IODM), MJO, dan El-Nino Southern Oscillation (ENSO) sebagai konsekuensi dari posisinya di persilangan samudera. Bila faktor cuaca ekstrem tersebut berkoalisi dengan global cooling, maka dampaknya akan lebih parah. Anomali cuaca Indonesia pada dua bulan pertama 2010 merupakan hasil koalisi MJO dengan global cooling.

Global cooling seharusnya juga tidak dianggap sebagai jeda dalam upaya mitigasi perubahan iklim untuk menekan laju emisi gas rumah kaca. Sejarah aktivitas Matahari menunjukkan, pascaperiode tenang akan diikuti periode bergejolak selama beberapa siklus bintik kemudian, sehingga jika upaya mitigasi pemanasan global berhenti pada periode ini, setelah 2030 kita akan merasakan efek berganda (double effect) pemanasan global sebagai hasil kongkalikong meningkatnya aktivitas Matahari dan tetap tingginya emisi gas rumah kaca. Jika ini terjadi, apa yang diramalkan panel IPCC mengenai potensi musnahnya 30% populasi tanaman bahan pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu melebihi 2 C dari normal, bakal terjadi lebih cepat.
--------------akhir kutipan---------------

Satu poin penting disebutkan beliau di akhir tulisan yang saya kutip. Walaupun beliau menyadari bahwa saat ini kecenderungan yang terjadi adalah global cooling, namun kita seharusnya tidak lantas melupakan usaha-usaha untuk menekan emisi gas rumah kaca (sebagaimana yang dipromosikan dalam rangka memerangi global warming).
Kita tetap harus mengurangi emisi gas rumah kaca karena kalau tidak, maka 30 tahun lagi ketika kecenderungan global cooling berakhir, kita akan mengalami global warming yang sangat parah. Jauh lebih parah dari semua prediksi kita.

No comments:

Post a Comment