Tuesday, September 28, 2010

Kematian Nasyid di Indonesia

Saya bukan penikmat nasyid atau lebih tepatnya sudah bukan penikmat lagi. Tapi kenyataan tersebut sepertinya tidak menghalangi saya untuk mengomentari beberapa hal mengenai realita nasyid saat ini.
Perkenalan awal saya dengan nasyid terjadi sekitar tahun 90an melalui nasyid melayu (atau lebih tepatnya Al Arqam) semacam Nadamurni dan The Zikr. Mulai saat itu juga aktivis dakwah di Indonesia (khususnya yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin) mengembangkan genre musik baru di Indonesia yaitu nasyid yang umumnya berbentuk semacam boyband dengan alat musik minimal atau bahkan tanpa alat musik. Pelopornya antara lain Snada dan Izzatul Islam.
Sejak saat itulah nasyid (berbahasa melayu) berkembang meluas di kalangan aktivis dakwah. (oh iya, sebelum periode itu nasyid yang beredar di kalangan aktivis dakwah umumnya berbahasa arab, antara lain yang bertema palestina). Jumlah grup nasyid pun bertambah tahun semakin bertambah banyak. Aktivis dakwah berusaha mempopulerkan nasyid sebagai alternatif hiburan bagi masyarakat (walaupun akhirnya yang menikmati juga aktivis-aktivis juga hehe). Untuk mencapai tujuan itu konser nasyid diadakan di mana-mana dan ditujukan untuk umum. Diadakan lomba-lomba nasyid. Aktivis dakwah masuk tivi di bulan Ramadhan untuk mempopulerkan nasyid dan lain sebagainya.
Bersamaan semakin digalakkannya nasyid, fundamentalisme nasyid juga semakin mencair. Alat musik yang digunakan mulai ditambah, bukan hanya alat musik ritmis, tapi juga melodis dan harmonis. Tema-tema juga semakin bertambah, bukan hanya tema jihad (seperti tema-tema yang diambil Izzis) dan sosial (seperti umumnya tema Snada), namun juga tema-tema romantis bahkan tema humor, parodi (seperti nasyidnya Gondes). Walaupun begitu tetap ada yang berusaha untuk istiqomah dalam asholah-nya (seperti nasyidnya Tarbiyah).
Tapi akselerasi nasyid yang lumayan cepat itu hanya bisa dipertahankan sampai pertengahan dekade 2000-an. Akhir-akhir ini nasyid indonesia sudah tidak ada apa-apanya lagi. Kenapa bisa begini??
Sepertinya... ini baru sepertinya lho... Para aktivis dakwah sekarang sudah terlalu sibuk dengan agenda-agenda lain yang (menurutnya) lebih bersifat strategis, praktis dan politis daripada sekedar mengurusi dakwah budaya lewat nasyid. Penyebab lainnya kemungkinan penggiat nasyid sudah jenuh untuk berusaha menembus batas tradisional nasyid di lingkungan aktivis dakwah. Memang nasyid sudah sedikit bisa mewarnai dunia musik indonesia. Namun baru sedikit. Untuk bisa menembus lebih jauh lagi dibutuhkan strategi yang berbeda dengan strategi tradisional dakwah. Untuk menembus lebih jauh nasyid tidak bisa lagi menggunakan logika dakwah namun harus menggunakan logika komersial.
Dalam hal ini nasyid kalah oleh musik pop religi. Dengan dipelopori oleh Opick, pop religi mulai menggilas nasyid. Produser musik lebih menyukai pop religi karena memang dikemas untuk dijual (bukan untuk berdakwah). Aktivis dakwah pun akhirnya harus menerima gilasan ini bahkan kemudian nyaman di dalamnya sambil membuat apologi bahwa berduyun-duyunnya penyanyi solo maupun grup band pop membuat album religi menjadi bukti keberhasilan dakwah selama ini.
Seharusnya aktivis dakwah jangan merasa nyaman berada dalam kondisi ini. Bagaimana pun mereka harus ingat bahwa nasyid bukan sekedar musik, namun dakwah dalam arti yang luas. Artinya yang ditawarkan oleh nasyid bukan hanya bunyi-bunyian dan lirik. Tapi juga munsyidnya dalam arti yang luas. Keseluruhan kombinasi musik, lirik, munsyid itulah yang menimbulkan ruh yang menghidupkan nasyid itu dan mampu membangkitkan jiwa.
Sekarang bandingkanlah lagu-lagu pop religinya ungu atau gigi dengan nasyid-nya Izzis atau Raihan. Apakah kedua pop religi bisa menjadi substitusi nasyid. Jelas tidak. Apakah kita bisa merasakan getaran yang sama ketika kita mendengarkan lagu religinya ungu dan gigi seperti ketika kita mendengarkan Kami Harus Kembali (Izzis) atau Damba Cinta-Mu (Raihan)?? Tidak akan pernah bisa.
Bukan karena musiknya atau liriknya. Tapi karena munsyid atau penyanyinya. Mereka beda maqom. Izzis atau Raihan adalah aktivis dakwah. Mereka berkhidmat untuk dakwah. Sikap dan sifat hidup mereka pun diwarnai oleh dakwah. Ruh mereka adalah dakwah. Tapi tidak dengan grup-grup atau penyanyi pop yang menyanyikan lagu religi.
(khusus untuk Opick mungkin agak lain. Karakteristik dia menunjukkan bahwa dia pun da'i. Sampai taraf tertentu lagu-lagu Opick bisa dianggap sebagai nasyid. Bahkan dia bisa juga dianggap sebagai satu-satunya munsyid yang berhasil menembus dunia pop)
Akibat dari tenggelamnya nasyid dan berkembangnya pop religi adalah berkurangnya nilai dakwah dari musik (ini bukan berarti saya setuju dengan dakwah melalui musik lho ya). Pop religi hanya sekedar menjadi rungon-rungon saja (rungon-rungon=bunyi-bunyian yang didengar sambil lalu saja). Sedikit sekali yang bisa berubah (mendapat hidayah) karena pop religi. Bagaimana pendengarnya bisa dapat hidayah, wong penyanyinya aja tidak mencerminkan sudah dapat hidayah??

1 comment:

Anonymous said...

Musik HARAM yah?
Nasyid HARAM Gak?

Post a Comment