Sunday, February 13, 2011

Konsep Salafiyah dalam Pemahaman Islam dan Penerapannya pada Umat

Pendahuluan:

Tulisan ini aslinya adalah buah pemikiran akh Andy Abu Thalib dalam sebuah diskusi di milis salafy ITB. Saya mempostingkannya dalam blog saya ini karena pentingnya tema ini, baik untuk oran-orang yg menisbatkan diri kepada manhaj salaf, maupun orang-orang yang belum memahami mengenai permasalahan penisbatan kepada manhaj salaf ini.

Karena bentuk aslinya adalah diskusi dalam milis, maka saya akan membuat penyesuaian di beberapa tempat agar tulisan ini bisa dibaca sebagai tulisan yang independen tidak terkait dengan konteks diskusi milis. Tulisan asli dan tulisan tambahan saya dibedakan dengan warna. Selain itu, saya melakukan koreksi sedikit terkait redaksional jika memang penulis aslinya melakukan kesalahan redaksional.

-------- awal tulisan --------------

Apabila kita yang telah lama belajar salafiyah (manhaj salaf) ditanya apa itu salafiyah, maka saya yakin, sebagian besar dari kita atau mungkin seluruhnya akan dengan cepat menjawab: "metode memahami nash sesuai dengan ... dstnya " yang insya'Allah sudah manteb tertanam di benak kita. Tetapi, berbicara lebih dalam lagi selangkah, salaf(y) yang didefinisikan sebagai sebuah "metode dalam memahami" ini berarti tidak menunjukkan bentuk riil. Maksudnya tidak riil adalah tidak seperti IM, HT dan lain sebagainya yang lebih "riil" dalam bentuk sistem "ajaran" (mereka punya metode sendiri, punya fikih sendiri, punya...sendiri bahkan punya sistematika kekhilafan sendiri). Salafiyah adalah sebuah metode yang berarti ia adalah sebuah frame dalam melihat nash untuk kemudian memunculkan pemahaman atas nash itu sendiri yang kemudian kita pakai untuk memahami masalah-masalah kita sekarang. Tidak lain ini karena kita pandang pasti bahwa salafiyah adalah metode penyelesaian permasalahan kaum muslimin.

Lebih jauh lagi...atau lebih simpel lagi bila uraian saya di atas agak ruwet: Bila IM, HT, JT dan sebagainya menawarkan "satu bentuk" dalam jama'ah mereka dan anggotanya diwajibkan berpegang dengan itu SAJA, maka salafiyah menawarkan sebuah kebebasan mengolah dalil selama tidak melewati batas-batas yg telah ditetapkan oleh manhaj salaf. Dengan kata lain, manhaj ini memiliki kemampuan untuk memproduksi pendapat yang banyak dalam berbagai macam bidang, mulai dari fiqh dan sebagainya, dan berbeda dengan manhaj hizbiyah (IM dsbnya) yang hanya bisa memproduksi satu buah pendapat, dan apabila ada anggotanya yang tidak bisa menerima pendapat yg satu itu tadi, maka "keluar"lah ia dari hizb itu tadi atau ia harus menyembunyikan pikirannya tadi.

Kalau kita lihat apa yang terjadi di masa para imam dahulu, nampaknya bentuk seperti ini lah yang ada (yaitu salafiyah yang menawarkan sebuah kebebasan mengolah dalil selama tidak melewati batas). Mereka bebas mengkaji nash dan mengeluarkan pendapat bahkan pendapat yang dari posisi kita sekarang bisa dipandang sebagai pendapat lemah dan infirad (menyendiri). Meskipun pendapat itu dikritik oleh imam yang lainnya, tetapi tidak ada keluar kata-kata dari mereka bahwa "pendapat ini bukan pendapat Salafiyah"....atau "ente bukan salafy ..ini bukan pendapat salafy"...dan sejenisnya...Mungkin contoh riil adalah perbedaan pendapat mengenai hukum orang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa mengingkari kewajibannya, yang mana Imam Ahmad berbeda dan infirad pendapatnya dan yang lain. Imam Ahmad tidak lantas dikatakan keluar dari manhaj salaf karena pendapatnya berbeda bahkan dari main stream...bahkan sampai sekarangpun pendukung pendapat Imam Ahmad pun ndak habis kok..misal Syaikh al Utsaimin pun mendukung pendapat ini.

Kita sering mengkritik persatuan yang hendak dibangun oleh orang-orang hizbi dengan kata-kata "tahsabuhum jami'an wa qulubuhum syatta...". Ini tidak lain karena persatuan paksa orang-orang hizbi memang seperti ini bukan? "Menyatukan pendapat"...dan salafiyah menolak sikap seperti ini. Salafiyah sangat mendukung pengkajian nash..bukan mendukung penyatuan pendapat...begitu bukan? Ini yang menjadi titik perbedaan yang sangat antara salafiyah yang merupakan manhaj dan IM, HT dan lainnya yang hizbiyah. Salafiyah menyemarakkan pengkajian dalil, pemroduksian pendapat-pendapat yang dari situ akan kita lihat lagi mana pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat yang ada, bukan untuk kemudian diklaim sebagai satu-satunya pendapat atau istilahnya "pendapat resmi Salafiyah".

Demikianlah perbedaan salafy dan hizbi. Nah permasalahan ndak selesai di sini. Ketika konsep ini berada di kenyataan, apakah selancar itu?

Dalam sebuah atsar dari kitabul ilm nya ibnu Haitsamah disebutkan bahwa kaum muslimin oleh dien ini dibagi menjadi setidaknya tiga bentuk: Alim, Muta'alim, dan awam.

Saya ingin coba ajukan pertanyaan: Konsep salafiyah, yakni sebuah manhaj (metode) dalam memahami nash, akan berjalan pada golongan mana dari umat ini?

Kalau saya (Abu Thalib), insya'Allah akan menjawab: Berjalan di bentuk masyarakat alim dan muta'alim. Karena mereka bisa memahami nash dan memiliki alat-alat untuk melakukannya dan memiliki kemampuan untuk itu. Lha yang awam? Bukankah sudah jelas bahwa orang awam yang tidak mampu untuk memahami nash maka mereka boleh taklid? Berarti di sini ada dua bentuk realisasi: Salafiyah manhajiyah dan salafiyah muqalid yang memang ia tidak mampu memahami nash tetapi yakin bahwa mengikuti manhaj salaf adalah benar dan dia ingin ke situ. Dia ndak bisa baca tulisan arab..taunya ngikut ajah...dia tau kalau ustadz Fulan itu manhajnya salaf dan pendapat-pendapatnya bisa diambil dsbnya...sedangkan bagi yang alim dan muta'alim, maka jelas ia ndak boleh taklid. Lebih lanjutnya tentang taklid ini bisa melirik ke Taqlid wal Ifta' nya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar Rajihi. Beliau detail sekali uraikan tentang masalah ini ..bahkan hingga ke beda pendapat dalam definisi taklid sekalipun.

Kembali ke permasalahan, berarti terdapat dua kondisi teoritis yaitu kondisi salafiyah (atau salafy) yang memang mampu untuk mengkaji nash dan kondisi salafy yang taklid saja. Kalau kita lihat secara jujur, kondisi ini ada ..dan bahkan di mana saja mungkin. Jujur saja, mungkin sebagian kita melupakan golongan salafy yang taklid saja ini. Kita anggap semua salafy itu pinter-pinter, bisa baca kitab, bisa memahami nash dengan metode-metode ushulnya dan sebagainya Dan ini efeknya besar. Khithab pembicaraan kita seringkali hanya berkisar golongan salafy yang bisa memahami nash saja dan golongan taklid ini luput. Memang, kita semua dituntut untuk menuntut ilmu, tetapi itu bukan berarti semua harus paham dengan kemampuan yang sama. Bukankah Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda: "Innamal ilmu bit ta'alum, wal fiqhu bit tafaquh, waman yuridillahu bihi khairan yufaqihu fi diin" (Tarhib wa Targhib al Mundziri, di hasankan oleh al Albani). Kalau memang seseorang itu tidak mampu memahami nash, apa ya mau dipaksa? Kalau bisanya taklid apa ya mau dipaksa baca kitab. Kalo orang Jepang bilang "sore wa muri deshou!"..hehehe

Nah .. tiap-tiap golongan, yang alim atau mutaalim ataupun awam muqalid punya hak dan kewajibannya. Yang alim dan mutaalim punya hak untuk berdakwah karena mereka memiliki ilmu dan bisa memahami nash, dan kewajiban mereka adalah tidak boleh taklid. Sebaliknya, muqalid punya hak untuk bertaklid (enak nih..ndak usah mikir susah-susah) tetapi mereka juga punya kewajiban: Menahan diri mereka dari berdakwah kepada hal-hal yang mereka taklidi (ingat bukan ke semua hal...tetapi ke hal-hal yang mereka taklidi). Bisa dibaca-baca lagi I'lamul Muwaqiin nya Ibnul Qayyim bagian ini.

Lha...permasalahannya adalah ketika hak dan kewajiban ini ndak dipahami oleh sebagian salafy..sehingga muqalidnya ikutan dalam dakwah ..mereka berdakwah kepada apa yang mereka taklidi dari guru mereka, sedangkan guru mereka ternyata hanya mengikut pada suatu pendapat yang mana ternyata banyak pendapat lain yang tidak sama dengannya, maka yang terjadi (bisa diduga): Penyatuan pendapat lagi...yang tidak sependapat dengan si ustadz dianggap bukan salafy...dan orang-orang awamnya ikut-ikutan neriakin "ooi, ente bukan salafi..."....akhirnya? Jatuh lagi "salafy" ini ke sikap hizbi.

Ketika misal muncul sebuah buku, orang awam yang membaca beranggapan: ini "pendapat resmi salafy"...akhirnya yang berkata beda terlihat sebagai non-salafy..padahal ternyata tema yang diangkat adalah ijtihadiyah. Ndak usah jauh-jauh mungkin....masalah Matahari mengelilingi Bumi atao BUmi mengelilingi Matahari ana kira salah satu contoh kasus yang pas. Hingga orang yang tidak sependapat dalam beberapa hal dengan buku itu dianggap ndak salafy, padahal ulama dulu pun ada yg berpendapat sama.

Dalam pikiran ana, dengan ini kita bisa pahami apa yang menjadi fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan terminologi salafy. Mereka yang melarang mungkin bisa kita jelaskan dengan istilah sebagai tindakan preventif munculnya "hizbi salafy" dengan karakter-karakternya. Sedangkan ini tidak mengingkari hakiki salafy sebagai sebuah manhaj itu sendiri.

Kalau seorang thalib ngotot "saya bukan salafy...saya bermanhaj salaf...saya cuma mau ikut manhaj salaf...dan ndak berafiliasi ke siapa-siapa..dan seharusnya kaum muslimin seperti ini..salafiyin itu seperti ini..."..ya musti ditanya lebih lanjut tentang teorinya ini. Apakah ndak berafiliasinya ini ingin menempatkan seluruh kaum muslimin sebagai mujtahid semua dan hukum taklid dihapuskan?

Abu Thalib

----------- akhir tulisan -----------------

Walaupun saya sudah berusaha memodifikasi tulisan ini agar bisa lebih mudah difahami secara independen, mungkin saja banyak pembaca yang belum faham. Oleh karena itu, kalau ada waktu dan mood saya akan coba menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep ini. Tapi gak janji, soalnya temanya agak berat dan saya pun masih harus banyak belajar.

No comments:

Post a Comment